Dialektika selalu saja membuatku menjadi Peragu


Dibawah malam-malam yang hitam, dengan sengatan selokan limbah perkotaan yang kian menyengat, akulah lelaki yang mengkultuskan diriku sebagai seorang peragu!, dengan perasan yang terus ditumpangi tanya, akankah aku menyusun sebuah parafrase lagi, ataukah memilih sifat dari tubuhku yang harus kudomestikasikan pada sebuah subjek peradaban. 

Dua musim sudah saat ini aku meringkuk ketakutan. Peduli apa mereka padaku, musim sudah pasti bertransformasi, kini penghujan tiba, aku tetaplah seorang lelaki peragu yang terus menerus memata-matai ketakutan-ketakutanku sendiri.

Phobia, Mungkin ia, mungkin pula tidak! Karena tak terjadi mistifikasi yang rada-rada halusinasi dalam diriku sendiri. Aku bahkan tak menyukai lagi kebiasaa-kebiasaanku yang dulu, mencari asupan materi yang ku olah sedemikian rupa, mungkin seperti opini ataupun tulisan ringan tentang kejahatan dunia kepadaku ataupun kepada orang-orang disekelilingku.

Kini aku semakin tak takjub dengan relasi dan rutinitas manusia semacam ini, aku semakin peragu, tapi juga optimis, bukankah hal demikian yang membuat setiap orang mempersenjatai dirinya dengan obsesi akan sebuah hal yang dihadapinya. 

Akupun bakalan ragu juga jika kalian hendak bertanya jawabannya padaku, selain karena memang aku adalah peragu, selain itu pula aku menolak berkolaborasi dengan cara usang yang kalian tawarkan padaku

0 komentar: