karakterku terus menyerupai psikosis

Sepekan baru saja berlalu menghajar tubuh yang mengering. Napas yang kian meninggi dan kadang jatuh menyebar, terus menginfiltrasi pada partitur nada yang seirama, Melakolis. Sungguh.

Empeduku pun berulang kali mendapatkan stimulan yang rasanya sudah tak anti racun lagi. Aku masih ragu mengatakannnya padamu. Darahku kini telah berganti lendir yang aku sadari akupun jijik dengan gestur dan  lekak lekuknya. Aku yakin kamu masih tahu apa yang selalu membuatku ingin memusnahkan impianku.

Sepekan yang berat dengan saripati obrolan mekanik para milisi parlemen.  Apalagi yang tak aku sadari, Setumpuk kegemaranku kian hari mengubah karakternya, menyerupai psikosis dan penikmat jalan-jalan ke kota tua. Jauh, namun melebihi batas hitungan dan prediksi.

Aku masih ingin Berlari kencang, lalu kadang-kadang ingin merubah peran, menyertakan mulutku yang masih diantara kita berdua, menikmati hasrat yang terus memproyeksi, seolah memenuhi kontadiksi.

Jalan yang masih saja terus akan sepi. Sekarang telah menjadi bagian dari hubungan mutualis. Aku memilih akan terus menyusurinya, menikmati bau tanahnya, terlebih sesudah hujan merayu. Kalaupun aku lupa, ini relasiku dengan keistimewaan ini. Logika alam, Pemintal awan, Pengrajin senjata, Pembuat  rak buku, adalah sebuah pembicaraan menarik pembuka kopi hitam sore ini.

Lekaslah menutup perjalanan ini, pikirku. Karena kemarahanku suatu waktu akan pasti. Nihil, tak memiliki wujud estimasi, Orang tak akan mengutukku lagi  atas perbuatan yang menurut sebagian orang ini adalah revolusioner, berwatak kerakyatan atau dan seterusnya, Kita telah berbagi jalan, kalian pasti tahu. aku menyukai sepi yang didalamnya berjejalan manusia yang menabuh potongan baja menjadi senjata. aku menyukai bagian ini.

Semoga berganti, tak melampaui beban yang tak memiliki akurasi, perjalanan  dan hasratku masih berjalan pada equilibris, sapaan menujunya masih berbeda, aku akan menjambangi kalian saat kalian mengobrolkan ambisiusme masing-masing.