Daun-daun pakis yang terus menghirup kebosanan

Dendam yang terlalu cepat berlalu. Membuat luka ini masih menganga, lebar. dan sangat sulit mengacanya walau dalam jarak lup yang hampir  berciuman. Sampai saat ini sangat sukar menutupnya, menutup rasa yang telah teradopsi dalam diriku, sebab arteri yang kumiliki lebih menyerupai kerak jalanan yang menebarkan bau aneh seusai hujan. Selalu menampakkan keretakkan yang saling berhubungan, keterkaitan horizontal yang membuatnya cantik dibanding bidak-bidak yang lainnya. Sehingga daun-daun pakis yang akan jatuh dibawahnya  akan merasa takluk dan sesekali mengelus-ngelus atau bahkan mereka akan rela membacakan beberapa roman eropa abad ke XI didepannya.

Baru dua belas jam yang lalu buku-buku itu terbakar. Kekasihku yang kadang-kadang memantik aroma api dekat rak alkohol baru saja duduk tepat dihadapanku. Didepan sebuah bar mini yang kami buat sendiri. Kemudian Lekas lah ia menyulut tembakau dari sebuah pipa yang dinamainya pipa kebosanan, Aku berusah berdialog dengan segala benda yang ada di ubun-ubunku, Semoga Peristiwa yang selalu membuatnya menjadi Pasukan Helios tak hinggap dikepalanya saat ini. Karenanya Beberapa tempat akan disebutnya secara detail hingga Tempat tersebut ia hujat, bahkan mengutuknya sebagai peristiwa yang menjadi bagian dari hidupnya saat ini. ia tak menderita, kami selalu menikmatinya.

Dari  sini, tempatku berpijak saat lalu, samar terlihat kaca berbingkai bayang-bayang hujan yang memanjat tirai . Pongah ! seolah segala intrik yang diolahnya menjadi gestur adalah miliknya. Gerakan, dialog dan mimik yang ia gubah  adalah hasil pengamatannya sore tadi, saat bulu-bulu angsa yang beterbangan menuju kebun bunga matahari milik tetangga sebelah. Aku terus mengamatinya.  Selain ekpektasi bulu-bulu angsa akankah kehidupan kekasihku ia akan tirukan. dalam sebuah projek show yang ambisius?semoga tidak.

Kenyataan memang paradoksal, katanya sambil terus menghirup dalam kebosanannya. Masyarakat yang sakit atau peradaban yang menjadi bumbu pertengakaran kita. Bukankah keduannya menjadi kehadiran yang sama sekali tidak kita butuhkan?Nafsu dan birahi yang terus menerus menggempur patronasi. Kekejaman terpimpin atau desenralisasi yang kadang harus kita tertawakan, terlalu lelah rasanya menjungkirbalikkan semua ini. namun apapun itu, Luka yang kumiliki terus menganga, kian hari ada jarak yang tercuri. kian hari perasaan dan sentimen klass ku kata orang kian meningkat. aku ingin merangsek, ingin mecari pereda sakit ini.

Daun-daun pakis hingga pagi ini terus berjatuhan menutupi sebagian bidak pembaca roman abad XI. Tiga diantaranya menguning, mungkin akibat angin yang sejak malam tadi tak pernah reda. Dua orang lelaki berjalan diatasnya. Tak bergeming nampaknya, terlebih dengan puluhan adegan yang baru saja ia cerabut dari naskah aslinya. Terkejut seraya tegap mendatangi jendela yang sudah kami putuskan menjadi kotak ajaib. Daun-daun pakis terus berjatuhan membuat hati ini menjadi galau. Benar! dua orang lelaki tadi kini tergelatak  tak bernyawa, dengan darah yang terus mengucur menutupi bidak-bidak yang saling terhubung, dengan tiga daun menguning diatas tubuhnya.
semoga kekasihku tak mendengar peristiwa ini, aku yakin, apa yang akan ia katakan sama dengan perasaanku yang galau saat ini. bukankah kedua hal ini tak pernah kita butuhkan? inilah masyarakat, inilah peradaban yang sebagian orang menjadikannya berhala.  

0 komentar: